Selasa, 01 April 2014

Ucup dan Kumi Si Kucing Mini Tetangga

Siang itu kulihat seekor anak kucing mampir di teras rumah ku. belang nya lucu, perutnya gendut dan ekornya panjang. Ia belang tiga. oranye, putih, dan hitam. Ia mengeong dan mendakat kepadaku. Kemudian dia kuelus, kugendong, dan ku peluk. Menyenangkan dan membahagiakan sekali saat itu. Tak lama ada suatu panggilan terdengar di telingaku, "kumi, kumi, kumi". Rupanya itu adalah nama anak kucing ini. Dan itu adalah suara dari pemilik kucing yang kegendong ini. 

Tak lama setelahnya sang tuannya pun muncul di terasku. Ia sekemudian berkata "kak ucup, itu kan kumi". Seraya membuka kedua tangan untuknya mengambil kumi dariku. Lalu sejenakku lihat mata kumi, yang seolah berkata "jangan lepaskan aku". Namun apa daya dengan berat hati kuserahkan kucing itu kepadanya. Karena kumi memang bukan kepunyaanku.

Setelah kumi pergi ku berkata dalam hati, "Kenapa rasanya berat melepaskan kumi? Ia bukan milikku. Kenapa terasa berat untuk melepaskan sesuatu yang mampir sekejap mata, walau itu bukan milik kita? Lalu bagaimana dengan dunia ini? apakah aku akan berat melepaskannya juga?". Kepergian kumi telah meninggalkan begitu banyak tanya dalam hatiku.  

Sebersit hatiku berbisik "Andai kumi bisa ngomong mungkin ia akan bilang pada tuannya, "Wahai tuan kumi ingin tinggal dengan dia aja". Atau mungkin dia akan bilang padaku, "Ucup jangan lepaskan kumi, berjuanglah untuk kumi". Atau mungkin ia akan memaki kami, "Enak yah jadi manusia bisa memilih, kumi!?"." Sejenak kegelisahan hatiku pun makin memuncah. 

Andaikan kumi mengatakan kalimat makian yang terakhir itu, apa yang bisa kujelaskan kepada? Memang kami bisa memilih, tapi kami begitu bodoh untuk melakukannya. Memang kami manusia bisa memilih tapi kami begitu buta untuk mensyukurinya. Dan memang kami bisa memilih namun sering kali kemampuan kami memilih hanya tergantung pada sebagian kami. 

Tak terbayangkan bagaimana reaksi kumi atas pernyataanku barusan. Ia akan memaki "Bodoh, buta, manja!". "Kalian tak sadar, lihatlah! sentuhlah! dan rasakanlah!" sambungnya sambil menunjuk dadaku. "Kalian punya sesuatu yang tak kumi miliki yaitu, hati yg penuh cinta, dan tangan yang siap untuk bekerja." katanya. "Dan tentu saja kalian punya keharmonisan untuk memadukannya." lanjutnya. "Apa kalian masih mau berdiam diri dan mematung begitu saja? Apakah kalian mau menyia-nyiakannya? Dan terus berada dalam kebodohan, kebutaan dan kemanjaan kalian?"

"AAhhhhh,,, buat apa aku berpikir sejauh itu" kataku dalam hati. Toh kalaupun ia bisa ngomong ia tak akan berbicara seperti itu. Karena yg bisa berbicara seperti itu ya "KITA" sebagai manusia yang memang memiliki kemampuan tuk memilih. Karena sekali lagi yg memang bisa memilih itu "KITA" yang memiliki hati. Dan karena sekali lagi yang memang benar-benar bisa memilih dengan hati itu yaitu "KITA" yang memiliki tangan.

Karena kemampuan memilih merupakan kebaikan yang Tuhan berikan kepada kita manusia, jadi kapankah kita kan memutuskan? Untuk menggunakan kebaikan itu, atau menyia-nyiakannya? maka dari................................................................................
pilihlah... 

kumi :-3


"sesungguhnya semua kebaikan ini, hanyalah untuk menguji apakah aku bersyukur atau kufur" - Nabi Sulaiman.

Sang "Pesimis" Optimistik


malam itu, 

seperti halnya malam yang lalu

aku di jalanan bersama motorku

diantara pepohonan, dan semilir kesunyian malam itu

ku sadari aku telah durhaka pada diriku...


malam itu,

gelapnya pun sama dengan malam-malam yang lain

aspal, batu, tiang, dan lampunya pun tetap sama seperti jalan yg lain

namun aku, telah menjadi pribadi yg lain...


malam itu,

kusadari sesuatu hal yg ironis

bahwa aku telah hidup dalam dunia yang optimis

namun selama ini aku memilih pesimis

yang dengan bodohnya aku tidak menyadarinya...

 

kata orang, 

pesimis itu bukan takdir

pesimis itu bukan pilihan

pesimis itu bukan kemauan.

 

sepert halnya,

tukang parkir itu, 

petugas jaga disitu,

pedagang bakso itu 

kasir, dan manusia lainnya

 

semuanya punya tujuan.

semuanya punya keinginan

semua melakukan perjuangan

dan semua memiliki harapan...


namun aku?

akulah si beruntung,

akulah si bejo

akulah si lucky man...

 

karena aku salah satu manusia pesimis

yang hidup dan terlahir di dunia optimis

yg tersudut untuk terus optimis

dan berharap bahwa harapan itu harus dijalani secara optimis


jujur aku tak ingin menjadi pesimis,

aku tak mampu menjadi apapun dengan pesimis

dan aku perlu menjadi seseorang yang optimis

sehingga aku memilih menjadi si "pesimis" yg optimistis